Quantcast
Channel: Sepetak Sawah
Viewing all articles
Browse latest Browse all 20

Umbu Landu Paranggi Hingga Eleanor Roosevelt: Tentang Intuisi

$
0
0

Konon suatu pagi yang cerah, di negeri antah-berantah, Nasrudin Hoja membeli seekor keledai kecil di pasar tak jauh dari rumahnya. Saat hendak kembali ke rumahnya, Nasrudin menunggangi keledainya bersama anaknya yang ia pangku di depan. Tak jauh dari pasar, ada segerombolan orang yang meneriakinya.

“Hai Nasrudin, tega sekai kau! Keledai sekecil itu kau biarkan ditunggangi dua orang sekaligus. Dimana perasaanmu?”

“Oh benar juga pendapat orang itu.” Nasrudin lantas turun dari keledainya namun masih membiarkan anaknya tetap menunggangi keledainya. Mungkin ini lebih baik. Tak lama kemudian, segerombolan orang yang lain tertawa melihat kejadian itu.

“Lihatlah orang bodoh itu, ia membeli keledai hanya untuk ditunggangi seorang anak kecil.”

Nasrudin berang, ia tidak terima dikatakan bodoh. Tanpa banyak komentar, ia menurunkan anaknya dari punggung keledai dan ia sendiri yang menunggangi keledainya.

“Begini lebih baik.”  Nasrudi dengan santai menunggangi keledai sedangkan anaknya ia biarkan memegangi tali yang mengikat keledainya. Di persimpangan tak jauh dari rumahnya, ia mendengar segerombolan orang saling berbisik satu dengan yang lain.

“Bapak macam apa dia, membiarkan anaknya jalan kaki sedangkan ia sendiri seenaknya menunggangi keledainya. Cuih!!” Wajah Nasrudin mendadak merah. Ia tak tahan lagi dengan berbagai komentar orang lain, akhirnya ia mengambil keputusan ekstrim sebagai jalan tengah. Ia turun dari punggung keledainya dan ia menggendong keledainya hingga sampai di rumahnya.

Dan Sepanjang perjalanan semua orang menertawainya terpingkal-pingkal.

Cerita dengan modifikasi seperlunya yang saya sampaikan di atas hanyalah analogi terhadap berbagai kemungkinan komentar yang ada di kepala manusia jika kita memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Jika ada seribu kepala dalam suatu ruangan, maka kemungkinan ada seribu pendapat yang berbeda tentang suatu hal.

Sudah lama saya tinggal di negara “apa kata orang lain” ini, sejak lahir.  Saya sudah lama dididik untuk selalu mempertimbangkan “apa kata orang lain” sebelum melalukan atau tidak melakukan sesuatu, sejak lahir. “Apa kata orang lain” seakan sudah menjadi pembanding, apapun variable-nya. Tidak heran jika setiap akan mengambil keputusan poin pertama yang harus dipertimbangkan adalah “apa kata orang lain”. Hal semacam itu terinternalisasi terus-menerus, dari waktu ke waktu hingga sampai di level: tidak mengenali suara sendiri. Saya tidak sendiri, mungkin saya adalah gambaran dari banyak bangsa timur yang mengalami hal serupa.

Jadi lebih kalau membuat skala prioritas, mana yang lebih tinggi dan didahulukan? Intuisi/suara yang berasal dari diri sendiri atau pendapat orang lain? Mungkin salah satu bait dari puisi ini biasa menjelaskan:

Baiknya mengenal suara sendiri dalam mengarungi suara-suara luar sana”

Melodia – Umbu Landu Paranggi/1965

Jika ada sepiring nasi, manakah yang lebih primer nasinya atau lauk-pauknya? Sebagai orang timur ya nasi, pasti. Kemudian yang menjadi nasi hidupmu itu intuisi diri apa pendapat orang lain? Yang primer yang mana? Yang hanya menjadi pelengkap yang mana?

Meminta dan mendengar masukan dan pendapat orang lain itu harus, menerima atau menolak masukan itu opsional. Mengkonfrontasi jalannya arus “apa kata orang lain” pasti menimbulkan kontra beberapa pihak, tapi apaka jika kita mengalir sesuai “apa kata orang lain” tidak akan melahirkan kontra? Setiap keputusan mempunyai konsekuensinya masing-masing.

“Do what you feel in your heart to be right, for you will be critized anyway. You will be damned if you do, and damned if you don’t.”

Eleanor Roosevelt

 

 

Aang Kunaefi

Probolinggo, 18 Maret 2013



Viewing all articles
Browse latest Browse all 20

Trending Articles