Pertengahan Mei 2013, pertama kali aku menginjakkan kali di Pulau Flores. Sore Sekitar Ba’da Asyar di Bandara Frans Seda, dua orang menungguku. Sebut saya inisialnya Ginanjar Aji Satya Graha, satu lagi dengan nama samaran Adhi Putra Kusyanto. Untuk yang pertama, tawanya mengembang, begitu lepas, ada kebahagiaan yang tak tersembunyi saat menyambut kedatanganku. Entah karena kami sudah lama kenal, atau karena ada perasaan solidaritas, semacam “Ahay! Akhirnya ada juga yang merasakan nasib yang sama denganku, terdampar di daratan asing, jauh dari kampong halaman!”
Teman baruku yang kedua, entah kenapa, setali tiga uang, ketawanya juga begitu lepas, padahal kenal aja belum, ternyata memang ciri khas senyum-senyum kepada semua orang. Dan pada akhirnya Dia jadi partnerku selama kurang lebih 8 bulan di salah satu bagian di Kantor penempatan definitif pertamaku. Well, kesan pertama begitu menggoda! Namanya Adhi Putra Kusyanto, sejauh yang saya kenal selama kurang lebih 8 bulan ini, adalah pribadi yang supel. Tidak menahun bergaul dengannya untuk menjadi akrab. Entah karena sering saling lempar gojlokan terbuka dan saling ngusilin, atau karena yang faktor lain.
***
Selama tinggal di Maumere, aku menempati mess yang tepat berada di jalan Don Thomas. Menurut legenda yang tersohor, lokasinya strategis. Bersebelahan dengan dua pusat perbelanjaan, dekat dengan tempat beribadah. Tapi, menurutku, kestrategisan itu karena kamarku bersebelahan dengan kamar Mas Iskandar. Ah, kenapa tulisan ini mendadak mellow? Sekali-kali tidak apa lah mellow karena cowok, beristri pula. Ha-ha-ha. Mas Iskandar biasa aku panggil Suhu Iskandar (suhu -bahasa hokkian- artinya guru, sefu, master, teacher, pengajar, orang yang dituakan dan dihormati karena punya pengetahuan yang baik panggilan pada Bhikkhu). Suhu Iskandar lahir dan besar di Klaten. Kami berdua, kadang bersama beberapa teman yang lain, sering ngobrol dan membahas Klaten hingga Jogja. Dari sekedar membahas distorsi budaya antardaerah hingga saling adu argumen tentang kota mana yang lebih OK, Probolinggo atau Klaten. Apa pun hasilnya, semua berujung pada tawa. Ada yang menarik dari kebiasaan Mas Is yaitu setiap kali mengirim IP Messanger, SMS dan pesan Whatsapp, pesan yang dikirim hampir selalu berakhiran koma(biasanya ada beberapa koma), bukan titik. Penasaran, suatu ketika aku interogasi kenapa harus koma, bukan titik. Ternyata filosofinya begini: untuk gaya mengirim pesan berupa tulisan yang kasual, koma lebih dipilih karena menghindari kekakuan, artinya dialetika via pesan tidak bersambung sampai di situ, tapi bersifat kontinyu, bersambung. OK, pendapat diterima.
***
“Mari kita kesankan dalam hati, diulangi lagi dan lagi hinga lagi itu tidah ada lagi.”
–
MarioTeguh (Hariyono)
Teguh Hariyono. Pertama kali tiba di Maumere, saya menggunakan helm Mas Teguh mengarungi kota Maumere, hingga beberapa minggu lamanya. “Epanggawang e, atas pinjaman helmnya”. Salah satu punggawa Seksi RIKI yang satu ini memang rajin mengontrol kinerja pegawai. Bukan hanya di kantor, bahkan hingga urusan sholat berjama’ah pun dia sampai mengobrak-abrik mess. Rasa-rasanya hanya RIKI di KPP 921 yang selain mengontol kepatukan kinerja pegawai di kantor, juga mengontrol kinerja ibadah pegawainya, Subhanallah.
***
Awal bulan Maret 2014, saat musim hujam belum sepenuhnya berlalu, akhirnya cita-cita Mas Candra selama di 3 tahun di Maumere terwujud jua – mendaki Gunung Egon. Sebenarnya kami sudah sejak beberapa bulan yang lalu merencanakan untuk mendaki, namun karena alas an cuaca yang mengancam keselamatan, rencana hanya menguap sebagai wacana belaka. Dan Alhamdulillah, saat pendakian alam sangat bersahabat. Alam ramah seramah saat ke sumber air panas, juga di kawasan Egon, tahun kemarin. Senang bisa mendaki bersama salah satu veteran salah satu pecinta alam dari kampus tercinta! Jangan sungkan-sungkan mengajak jika ada pendakian lagi.
***
25 Februari 2014 harusnya aku ada di tengah-tengah orang di acara lepas pisah Mas Adhi, Mas Iskandar, Mas Teguh dan Mas Candra. Mungkin waktu belum berpihak, karena akhirnya tidak bisa menghadiri acara. Demikian juga saat melepas Mas Teguh dan Mas Is di Bandara Frans Seda, aku hanya bisa mendoakan dari jauh, dari Jogja.
Akhirnya kita sampai di goresan kenyataan dari setiap perjumpaan, yaitu perpisahan.
Semua akan (p)indah pada waktunya.
Sayonara Mas Adhi, Mas Iskandar, Mas Teguh dan Mas Candra. Semua masih sama. Mungkin ada beberapa nuansa yang tak sama lagi tanpa kalian. Liqo harian yang pesertanya berkurang, Jama’ah Masjid beru & Masjid Waioti yang berkurang, tak ada lagi obrolan dengan Mas Iskandar hingga larut malam di teras kamar, tak ada lagi debat sengit tentang baca’an qolqolah shugroo dan qolqolah subroo -tidak apa karena guru ngajinya mungkin beda, dalam hal ini kadang aku berpihak kepada mas candra-, pekerjaan kantor yang semakin berat karena kantor yang memang kekurangan pegawai ini ditinggal lagi oleh 4 tenaga muda andalan. Tapi tak apa, bukankan yang berat itu berisi, Mas Mas semua?
Aku mohon maaf jika selama ini ada salah, juga aku sudah memaafkan jika ada salah (ok ini agak songong). Ha-ha-ha
Mungkin selama ini ada momen dimana kita merasa tidak nyaman satu yang lain, tapi aku yakin itu tidak ada, kalau pun ada, mari lupakan dan biarkan lewat.
Because good time leaves good memory and bad time leaves good lesson.
Terima kasih untuk semua kebaikan yang telah dilalui bersama. Terima kasih atas buku-bukunya, mas teguh. Terima kasih buat joy-sticknya, Mas Candra. Semoga bisa meotivasiku untuk semakin giat ngegame belajar. Terima kasih Mas Adhi dan Mas Is atas petuah-petuahnya. Sehat selalu.
Maka, seperti kebiasaan Mas Iskandar, tulisan ini tidak saya akhiri dengan titik tapi koma. Karena perpisahan bukan akhir dari segalanya, termasuk silaturahmi. Semoga bertemu lagi di lain kesempatan,,
May this good bye lead us to a new halo,,
Aang Kunaefi
13 Maret 2014
Jalan Don Thomas
Maumere, Flores
*Beberapa dari tulisan ini adalah hasil rekayasa penulis, tapi yakinlah perasaan kehilangan kami sepeninggal kalian tak sedikit pun direkayasa
