Dalam hidup, baik dalam skala kecil yaitu pribadi diri sendiri, keluarga, hingga skala yang lebih besar, negara misalnya, Tuhan menciptakan setiap bagian untuk saling berinteraksi dalam rangka saling melengkapi agar semua bisa berjalan sebagaimana mestinya, sebagaimana yang seharusnya. Maka dalam interaksi itu harus muncul transaksi memberi dan menerima.
***
~ Memberi ~
Orang yang dermawan, suka memberi, suka berbagi dengan yang membutuhkan hampir selalu diposisikan sebagai orang yang seolah-olah memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding orang yang menerima. Maka kemudian banyak orang menjadi demawan, menjadi suka berbagi, menjadi suka memberi agar dipandang sebagai orang yang memiliki derajat lebih tinggi dibanding yang lain, hingga dalam hatinya diam-diam ia merasa lebih keren sedikit dibanding yang lain. Dan kenungkinan jumlah orang-orang yang mendadak dermawan ini akan meningkat tajam menjelang pemilu, pilkada maupun pemilihan atau perebutan kursi panas yang lain. (?)
Dalam memberi terkandung banyak manfaat, memberi hanya akan mendatangkan mudharat jika dibarengi dengan sifat riya’, ke-ge-er-an, merasa menjadi pahlawan dengan pemberiannya, merasa mengungguli orang atau pihak yang ia beri. Dalam aspek keagamaan memberi menjadi salah satu pemerataan kekuatan ekonomi, ya karena alasan itu maka diwajibkanlah zakat yang merupakan salah satu rukun Islam. Dalam aspek kenegaraan, memberi juga bentuk sumbangsih rakyatnya guna membangun negaranya sejak dahulu kala, maka diwajibkanlah warganya yang berpenghasilan lebih untuk membangun semua sarana untuk digunakan bersama, termasuk sarana yang kemudian digunakan termasuk orang yang kekurangan yang notabene penghasilannya masih dibawah batas penghasilan dikenai pajak.
Mungkin memang demikian dialetika Tuhan, dalam bahasa yang lebih sederhana, memberi bisa berarti membantu yang lain dengan subsidi dari yang mempunyai penghasilan dan rezeki lebih, membebaskan mereka yang kesulitan dan ini hanya dilakukan orang yang mempunyai kelapangan hati.
Konon, Rosulullah pernah bersabda, “Tangan yang di atas lebih baik dibanding tangan yang di bawah”. Dari hadis Nabi itu kemudian kita bisa berbondong-bondong memberikan penafsiran bahwa orang yang memberi kedudukannya lebih baik dari mereka yang menerima. Tanpa sadar kita bisa terjerumus dalam dua variabel tersebut tanpa memperhitungkan variabel yang lain dalam dialetika hadis tersebut. Siapa tahu Belaiu ingin menggiring kita ke variabel yang lain dalam dialetika tersebut, mungkin variabel itu perspektif Tuhan terhadap kita. Siapa tahu.
Ya, siapa tahu Beliau mau ngingetin kita, janganlah kamu menjadi miskin atau fakir hingga kamu meminta-minta selain kepada Tuhan yang pada akhirnya menggiringmu kepada kekufuran. Untuk mencegah hal itu, maka jadilah kamu yang memberi, jadilah kamu yang dermawan, jadilah kamu orang yang mencegah orang meminta selain kepada Tuhannya. Maka dengan demikian diam-diam secara tak sengaja kamu sudah mengimplementasikan ayat Iyyakana’budu wa iyya kanasta’in. Maka memberi sebelum diminta itu top. Bagaimana dengan menerima?
***
~ Menerima~
Jika berbicara konteks memberi, maka jelas bahwa maoritas yang memberi mempunyai kelapangan yang lebih, mempunyai rezeki yang lebih, mempunyai power yang lebih dibanding yang diberi. Ya walaupun mayoritas itu tidak berarti semuanya karena ada juga secara materi tidak cukup-cukup amat, secara kedudukan tidak begitu powerful, dan hidupnya tidak lapang-lapang amat, tapi meka juga mau dan ikhlas memberi. Jadi mereka memberi bukan karena kehidupannya serba berlebih, akan tetapi mereka tahu dan pernah merasakan hidup tidak berkecukupan. Ini orang yang lebih top lagi.
Jadi kita boleh menauladani jika ada orang yang berlebih secara materi, secara kedudukan powerful, dan kehidupannya secara total lapang, yang sangat dermawan, bisa membuka lapangan pekerjaan yang luas, seluas rejeki orang yang membutuhkan, namun tidak perlu terlalu heran dan gumun. Alhamdulillah mereka sudah menunaikan kewajibannya sebagai khalifah, sebagai duta tuhan untuk menyampaikan rahmat-Nya kepada sesama.
Tapi ngomong-ngomong, mungkin kita terbiasa dengan memberi, mungkin kita begitu mudah ikhlas saat memberi, tapi pernah ga kita bertanya kepada diri sendiri, bisa ndak kita ikhlas? Bisa ndak kita “menerima” semua takdir Tuhan?
Maksudnya gini, jika direfleksikan ke dalam, ke diri kita sendiri, kecenderungannya kita mau dan siap menjadi orang kaya yang dermawan, mau dan siap menjadi pemimpin yang membantu kesulitan-kesulitan anak buahnya atau rakyatnya, mau dan siap menjadi pengusaha yang memberikan lapangan rezeki kepada orang-orang yang membutuhkan. Insyaallah kecenderungan kita mau, siap dan ikhlas.
Tapi bisa ndak kita menerima jika Tuhan menakdir kita hidup tidak sekebercukupan orang lain di sekitar kita? Bisa ndak kita menerima jika hidup kita dilanda kesusahan? Bisa ndak kita menerima saat ditakdirkan menjadi orang yang tanpa pangkat? Konklusinya, kira-kira bisa ndak kita menerima takdir Tuhan ketika takdir itu mungkin tidak selaras dengan harapan kita?
Pernah ndak kita meminta kedudukan yang lebih tinggi, saat doa diistijabah kita diam-diam ngedumel tidak terima, tidak ikhlas, tidak ridho dengan pekerjaan yang lebih lebih banyak dari biasanya. (?)
Jadi kadang-kadang orang yang bisa ikhlas memberi belum tentu ikhlas menerima. Mungkin saja. Dan tidak menutup kemungkinan orang yang pandai menerima mempunyai mental dan dialetika lebih romantis terhadap Yang Menciptakannya.
Karena tidak semua bisa dan mampu “menerima” ketentuan Tuhan terhadap kita. Tidak semua bisa “menerima” kemelaratan yang Tuhan ujikan kepada kita.
***
~ Memberi vs menerima? ~
Jadi memberi atau menerima itu adalah alat dalam konteks memaknai dialetika dalam hidup ini. Namanya juga alat, tergantung yang menggunakan mau digunakan untuk tujuan apa. Maksudnya begini, jangan sampai dengan memberi kita merasa lebih baik dari yang menerima, itu sama saja diam-diam kita menghinakan orang lain. Sama halnya dengan sholat, jangan sampai sholat kita menggiring kita untuk mengejek orang yang belum solat hingga melukai perasaan orang lain, karena pada dasarnya jihat itu mengajak bukan memaksa apalagi sampai menghina. Sama halnya juga dengan menikah, jangan sampai nilai ibadah dalam pernikahan hilang hanya karena pernikahan dijadilan alat untuk mengejek mereka yang belum menikah. Jangan sampai haji kita tidak mabrur hanya karena setelah haji kita merasa lebih suci dari orang lain yang belum bisa dan belum mampu melaksanakan haji. Dan kerangka seperti ini bisa diaplikasikan ke variable-variabel lain.
Memberi atau menerima, jangan-jangan itu bahasa romantis Tuhan untuk menguji kemurnian hati kita, manusia? Siapa tahu.
@aang_kunaefi
Maumere, 29 Mei 2015
