Quantcast
Channel: Sepetak Sawah
Viewing all articles
Browse latest Browse all 20

SIAPA DAN APA YANG HARUS LEBIH KITA KENAL?

$
0
0

Coba tanyakan ke adik atau saudara kamu yang duduk di SD maupun SMP, siapa yang dia lebih kenal antara Justin Bibier, Ipin-Upin, atau Jenderal Soedirman?

Coba juga tanyakan juga ke teman terdekat kamu, teman kuliah kamu atau siapa saja mahluk modern Indonesia yang mumpuni dan kenyang mengenyam bangku pendidikan, mana yang lebih mereka kenal antara Jhonny Depp,Angelina Jolie, Avenged Sevenfold, Taylor Swift atau Muhammad Athar alias Bung Hatta?

Atau mungkin sekalian tanyakan kepada dirimu sendiri, mana yang lebih kamu kenal antara Cameroon Diaz, Dewi Persik, Band Ungu, atau Mbah Buyut kamu?

Hipotesa sementara saya mayoritas jawaban bukan opsi yang terakhir, semoga hipotesa saya salah dan hanya berakhir sekedar hipotesa yang sangat amat diragukan kebenarannya.

Tentunya jangan tanyakan mana yang lebih saya kenal antara John Mayer , Obama atau Mbah Buyut 4 generasi di atas saya. Mungkin sebagian besar sudah tau jawabannya.

Itu hanya sekedar “dialetika Tanya-jawab” tentang apa yang kita tahu vs apa yang seharusnya kita tahu, retorikal karena sudah dapat ditebak apa jawabannya.

Mungkin pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya pertanyaan-pertanyaan retorikal yang tidak benar-benar memerlukan jawaban. Namun, bagaimana jika dialetika tersebut diseret ke topik yang lebih menggelitik seperti misalnya “Apakah kita lebih mengenal tari tor-tor, reog ponorogo, wayang kulit, dll dibanding Indonesia/Ameican Idol, dll?

Menggelitik bukan? Saya tidak memaksa untuk menjawab karena saya sendiri pun mungkin malu untuk menjawabnya.

Menggelitik memang, oleh karena itu alangkah lebih baiknya jika pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak perlu diperluas lagi ke pertanyaan yang menyangkut Tari Pendet, Lagu Rasa Sayange, Batik, Kuda Lumping, Pulau Jemur, Ligitan, Sipadan, dan seterusnya. Kenapa? Karena jika dilanjutkan kemungkinan besar tidak menggelitik lagi, tidak memberi efek geli lagi, lebih dari itu. Saya pun memaklumi jika membahas tema tersebut bisa memicu ketegangan urat saraf karena memang akhir-akhir ini di berbagai media baik cetak maupun elektronik lagi ramai diperbincangkan masalah klaim Negara tetangga atas beberapa aset kebudayaan budaya Indonesia.

Berbagai macam reaksi muncul ketika mayoritas media ramai memberitakan klaim Negara tetangga terhadap asset-aset bangsa. Untuk situasi ini, saya memposisikan diri sebagai pihak yang tidak paham/mengerti dulu, bukan karana apa, murni karena saya memang belum benar-benar paham. Maka berangkat dari keawaman ini, saya lebih suka membuat beberapa hipotesa saja dan atas kewaman ini pula setidaknya saya sudah pasang kuda-kuda sehingga jika hipotesa-hipotesa yang saya buat ternyata bertolak belakang dengan kebenaran yang ada, saya sudah mengantongi sikap memaklumi dari semua.

Untuk fenomena ini saya lebih suka memulai dengan pertanyaan “Ada apa dengan kita? Bangsa ini?” dibanding “Ada apa dengan mereka?”. Dengan demikian saya tidak akan berangkat ke level  pertanyaan “Ada apa dengan mereka?” sampai saya benar-benar mendapat jawaban dengan pertanyaan “Ada apa dengan kita” atau sudah tidak menemukan jawaban lagi atas pertanyaan tersebut karena “kita tidak kenapa-kenapa, kita sudah di track yang benar”.

Untuk case klaim aset budaya ini, mungkin ini semacam “teguran” dari Negara tetangga atau orang-orang Indonesia yang tinggal di negeri seberang agar negeri ini bangun dari tidurnya, mungkin juga ini bentuk kepedulian pihak lain betapa negeri ini mempunyai aset-aset yang tak ternilai tapi kita terlelap terlalu jauh hingga kurang sadar akan kayanya negeri ini. Dengan demikian, bangsa ini diharapkan mulai terbangun dan sadar sepenuhnya akan berharganya aset-aset budaya bangsa ini dan mendorong untuk mempertahankannya hingga kadar bukan hanya sekedar “memilikinya atau mempertahankannya” tapi lebih dari itu, membuatnya hidup di tengah-tengah masyarakat. Mungkin juga mereka ingin membuat bangsa ini iri, iri dalam artian “ah kenapa harus pihak luar yang lebih bangga dengan budaya bangsa kita”. Mungkin tidak heran jika ada “raga kusuma”, kelompok seni gamelan bali di negara bagian Virginia yang mahir dan dengan bangganya memainkan gamelan Bali, tidak heran juga jika masyarakat Amerika terpukau menyambut kedatangan KRI Dewaruci di Pelabuhan Baltimore di Negara Bagian Maryland, dan mungkin masih banyak lagi fakta bahwa banyak bangsa lain yang bangga akan budaya bangsa ini.

Seberapa banyak generasi negeri ini yang peduli dengan asset-aset budaya ini? Seberapa serius bangsa ini berusaha agar asset-aset tersebut tetap hidup di tengah-tengah masyarakat? Lagi-lagi, itu semua pertanyaan retorikal, setiap orang mungkin punya jawaban dan alasan masing-masing.  Yang ingin ditekankan dalam artikel ini adalah “Apa pantas kita bereaksi berlebihan atas klaim pihak lain atas aset bangsa ini sedang kadar bangga kita tidak lebih dari bangga bangsa lain dalam menghargai aset bangsa ini?”. Tentunya pertanyaan saya tadi terlepas dari status kepemilikan maupun saling klaim, dll.

Bukan berarti saya menyuarakan opini seberapa tidak bangganya bangsa ini terhadap aset bangsanya. Tidak,jika demikian rasanya ini terlalu over-generalizing. Mungkin hal-hl semacam itu pernah terjadi, tapi terlalu naif rasanya jika menutup mata terhadap usaha-usaha yang telah dilakukan bangsa ini untuk melindungi aset budayanya. Mari ambil beberapa contoh aja, di laman VOA disebutkan bahwa UNESCO Akui Sistem Pengairan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia. Untuk melestarikan sistem pengairan pertanian di Bali yang dikenal dengan istilah Subak, Pemprov Bali kini menyiapkan peraturan daerah (Perda) perlindungan lahan pertanian. Langkah itu sebagai bentuk keseriusan Bali dalam menjaga Subak, pemerintah daerah Bali kini sedang mempersiapkan peraturan daerah (perda) terkait perlindungan lahan pertanian. Contoh lainnya ialah langkah Indonesai yang akhirnya akan mendaftarkan Tari Tor-tor ke UNESCO setelah “tersindir” atas “guyonan” negeri seberang atau mungkin orang Indonesia yang tinggal di negeri seberang yang “gregetan” atas kalemnya bangsa ini dan mungkin masih banyak usaha-usaha yang lain yang belum diberitahan ke publik.

Faktanya memang benar, kita benar-benar merasakan pentingnya/berharganya sesuatu setelah setuatu itu (akan/telah) pergi. Jadi tidak mengherankan jika apa yang selama ini kita remehkan, kita pandang sebelah mata kemudian ada pihak lain yang merasa “sayang kalau harus diabaikan” dan mulai meliriknya, memdadak muncul sikap posesif yang berlebihan.

Bangsa ini sudah dewasa secara peradaban, sudah mengerti mana yang seharusnya dan tidak seharusnya. Mudah-mudahan aset budaya bangsa bisa bertahan di tengah gempuran dunia modern ini, di tengah maraknya caplok-mencaplok, jiplak-menjiplak, dll.

Salam.

Aang Kunaefi

20/06/2012

Probolinggo, Indonesia

Ilustrasi gambar dari Laman UNESCO

 

 

 



Viewing all articles
Browse latest Browse all 20

Trending Articles