Tidak bisa dipungkiri bahwa televisi masih menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia dalam memperoleh informasi. Berbagai informasi bisa didapatkan dari stasiun-stasiun televisi yang beroperasi di Indonesia. Jadi rasanya tidak berlebihan jika saya membuat kesimpulan sementara bahwa media masa, terutama televisi, bisa menjadi sarana edukasi atau bahkan senjata pembunuh karakter generasi bangsa yang paling ampuh dibandingkan dengan media masa yang lain jika tidak dikelola dengan bijaksana.
Jika menengok kembali sejarah pertelevisian Indonesia, stasiun televisi pertama yang dibangun oleh pemerintah pada tanggal 17 Agustus 1962, yaitu TVRI, maka jangan dibayangkan gambaran televisi dulu dengan saat ini sama, jauh berbeda. Untuk level kecanggihan teknologi dan menu informasi yang disediakan juga sangat berbeda. Memang kala itu dunia pertelevisian masih terkendala masalah kemajuan teknologi. Begitu juga dengan misi yang diusung dunia pertelevisian saat itu yaitu untuk mensosialisasikan program pemerintah, jadi tidak heran jika TVRI yang baru didirikan saat itu digunakan untuk menyiarkan upacara kemerdekaan Indonesia dari halaman Istana Merdeka Jakarta disamping proyek khusus yaitu untuk menyukseskan penyelenggaraan Asian Games ke-4. Bandingkan dengan dunia pertelevisian saat ini yang lebih canggih dan lebih condong berorientasi ke arah kegiatan komersil, dalam artian aspek industrinya yang dikedepankan dibanding aspek-aspek yang lain. Sebenarnya tidak begitu masalah entah dunia pertelevisian lebih mengedepankan aspek industrinya atau aspek-aspek yang lain asalkan “menu yang disajikan” masih dalam track yang benar. Mengedepankan aspek industri dari sebuah stasiun televisi memang bisa dimaklumi karena jaman menuntut hal semacam itu, sekali lagi dengan catatan, aspek industri tersebut tidak membelokkan arah orientasi dunia pertelevisian kita, yaitu mendidik dan mencerdaskan masyarakat Indonesia sebagai penerima informasi yang disuguhkan stasiun-stasiun televisi Indonesia. Tentu banyak lagi yang terjadi selama proses transisi itu berlangsung yang tidak mungkin semuanya bisa diungkapkan di sini.
Melihat wajah pertelevisian Indonesia saat ini, saya sebagai penikmat acara-acara televisi merasa bahagia sekaligus miris. Bahagia karena menu informasi yang ditawarkan stasiun-stasiun televisi cukup banyak dan variatif, namun di sisi lain saya juga menyayangkan banyaknya menu acara televisi yang mungkin justru mengarahkan masyarakat terhadap tujuan tertentu selain banyak juga acara yang seakan-akan membodohkan masyarakat. Kita sama-sama renungkan aja beberapa sinetron atau serial yang ditayangkan beberapa stasiun televisi Indonesia. Tidak jarang sinetron yang ditayangkan seolah-olah menyampaikan pesan “Oh, sebodoh itu kah masyarakat Indonesia?”. Tentu saya sangat tidak setuju dengan pesan tersirat itu. Tengok saja bagaimana film-film yang diklaim sebagai film religi tapi tayangannya justru bertolak belakang dengan agama, atau film remaja yang menggambarkan bagaimana sih sekolah di Indonesia, “Oh siswi-siswi sekolah di Indonesia pake bawahan di atas lutut. Murid-murid sekolahan di Indonesia bawa mobil ke sekolan, mereka juga lebih sering ke diskotek dari pada ngerjain belajar atau menyelesaikan PR di rumah”. Tentu saja semua itu fiksi, fiksi yang memberi kesan membodohkan pemirsa atau mungkin efek yang paling sederhana adalah memberi kesan betapa bodohnya bangsa ini. Belum lagi saat ini televisi dijadikan sebagai senjata politik dalam melakukan manuver-manuver politik yang ujung-ujungnya membuat kita bertanya-tanya, apa benar informasi yang disampaikan benar-benar netral dan bebas dari bumbu-bumbu politik maupun kepentingan pihak-pihak tertentu? Tentu itu hanya pertanyaan retorikal yang semua orang kemungkinan besar sudah tahu jawabannya. Miris rasanya kalau masyarakat Indonesia dijejali informasi yang ditunggangi kepentingan-kepentingan politik dan kepentingan komersil. Bukan berarti meremehkan masyarakat tidak bisa memfilter tontonan apa yang layak dikonsumsi, bukan itu, bangsa ini bangsa yang besar, yang telah melewati banyak tantangan yang mungkin bangsa lain belum tentu melewatinya sesukses bangsa ini melewatinya. Kita ini bangsa yang besar, tidak mungkin hancur hanya karena Lady Gaga tidak jadi datang ke Indonesia, tidak mungkin berantakan hanya wabah ulat bulu dan tomcat yang menyerang sepersekian dari wilayah Indonesia saja. Tidak ada yang salah dengan pemberitaan ulat bulu, tomcat dan mungkin Lady Gaga asalkan sesuai dengan kadarnya, tidak berlebih-lebihan. Pasti kita sama-sama mengerti, banyak kasus terkait nasib bangsa ini yang lebih penting dari sekedar itu semua, dan saya rasa tidak perlu menyebutkan satu per satu kasus-kasus itu. Namun untuk langkah preventif dalam menyelamatkan bangsa ini, kenapa pemerintah dan semua elemen negeri ini tidak bersama-sama membenahi sistem pertelevisian untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa ini? semakin dibiarkan maka semakin besar kemungkinan generasi penerus bangsa ini tergerus karakternya.
Tentu fenomena yang terjadi ini bukan hanya tanggung jawab komisi penyiaran Indonesia, lembaga sensor, maupun lembaga lain yang berkaitan langsung dengan dunia pertelevisian Indonesia, fenomena ini menjadi tanggung jawab bersama. Sebagai konsumen, tentunya kita harus pandai memilih informasi yang layak untuk dikonsumsi dan informasi yang seperti apa yang seharusnya tidak layak ditonton. Masyarakat Indonesia pasti sulah lama rindu dengan acara-acara yang positif, yang membangun dan netral tentunya, bukan acara-acara yang sebenarnya menjadi alat untuk kepentingan politik, berita yang berorientasi ke arah komersial sehingga apapun produknya, jelek maupun buruk, mereka sudah tidak peduli lagi, yang penting target komersil tercapai.
Mungkin alangkah lebih baiknya jika business owner dan orang-orang yang bekerja di dunia pertelevisian bebas dari kepentingan politik sehingga informasi yang disampaikan benar-benar netral. Begitu pentingnya peran televisi bagi bangsa ini, seakan-akan dunia pertelevisian ini mempunyai 2 sisi mata pisau. Satu sisi bisa menjadi sarana untuk mencerdaskan generasi bangsa, namun di sisi yang lain bisa menjadi senjata pembunuh karakter bangsa saat ini dan di masa yang akan datang. Pilihan ada di tangan kita semua, silahkan sisi mana yang akan kita pilih tentunya dengan segala konsekuensinya. Maju terus, Indonesiaku.
Aang Kunaefi
Probolinggo